UBAH PERILAKU DEMI LINGKUNGAN [1]

Oleh : Prof. (Hon) Ir. Tachmat Witoelar
Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Ketua Harian Dewan nasional Perubahan Iklim

Ada kecenderungan tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup tak sebanding dengan upaya perbaikan dan pemulihannya. Padahal pembangunan terutama yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya ayat (SDA) mestinya tidak boleh menghilangkan peluang generasi mendatang untuk menikmati berbagai manfaat kekayaan alam.
Pada dekade 1990-an, PBB membawa soal pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan umat manusia ke dalam pembahasan dan kesepakatan antar negara. Misalnya lewat KTT Bumi Rio de Janeiro, 1992 dan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, 1994. Puncaknya lahirlah Deklarasi Melenium, kesepakatan 189 negara mengenai arah pembangunan dan sasaran yang perlu diwujudkan.
Terabaikannya pertimbangan pelestarian lingkungan hidup dalam pembangunan ekonomi sejak awal abad ke-20 memicu penurunan mutu lingkungan hidup di tingkat global, regional dan nasional. Ciri lingkungan hidup yang terkait menyebabkan masalah lingkungan hidup tidak dapat dipisah-pisahkan menurut batas negara atau administrasi suatu wilayah.

Masalah lingkungan hidup di Indonesia dipicu pemanfaatan sumber daya alam tanpa prinsip lestari. Misalnya awal 2000 di Padang, sumbar terjadi bencana terbesar sepanjang sejarah propinsi itu. Tanah longsor, banjir dan air bah yang disebut galado menelan 111 korban jiwa dan kerugian ekonomi Rp. 302 miliar. Pada Januari sampai pertengahan Desember 2003 terjadi tanah longsor di seluruh Indonesia, 70 di antaranya di Jawa Barat, memakan korban 176 jiwa, 1.563 rumah rusak, dan 55 rumah hancur. Pengalihan lahan yang terus berlanjut memicu berkurangnya air tanah, erosi dan banjir. Areal air tawar dari 11,5 juta ha tinggal 5,1 juta ha. Danau berkurang sekitar 774.000 ha menjadi 308.000 ha.
Ini terkait pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi sedunia dari tahun ke tahun. Bumi memang perlu panas di tingkat tertentu. Jika tiada, seluruh permukaan bumi bisa menjadi es. Panas itu salah satunya dihasilkan Efek Rumah kaca (ERK) alami, yaitu terperangkapnya gas buang seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrooksida (N2O) di atmosfer. Namun bila berlebihan, energi mahatahi yang terperangkap ini memicu panas berlebihan, es kutub pun mencair.
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pemanasan global dapat memicu perubahan berari dalam sistem fisik dan biologis berbagai ekosistem di daerah garis lintang tinggi (Artika dan Antartika) dan pantai. Seperti peningkatan intensitas bada tropis, perubahan pola hujan dan angin, kadar garam air laut, masa perkembangbiakan hewan dan tanaman, penyebaran spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit.
Jadi, upaya sistematis dan terpadu untuk memperlambat laju pemanasan global dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dalam sistem perencanaan pembangunan, disertai perubahan perilaku masyarakat dunia yang lebih ramah lingkungan, sudah menjadi keharusan.
Indonesia berperan aktif dalam tiap kesepakatan internasional lingkungan hidup. Salah satu yang sangat penting adalah dalam Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim yang berlangsung di Bali pada 3-5 Desember 2007. Tercapainya kesepakatan Bali Roadmap memberikan bobot tanggung jawab penuh Indonesia menuju kesepakatan baru menuju Kyoto Protokol pada 2009 di Kopenhagen, Denmark.
Hal terpenting dari pertemuan dunia di Bali itu adalah bangkitnya kesadaran seluruh warga bumi terhadap ancaman perubahan iklim. Perubahan iklim sudah nyata dan harus ditangani. Sesuai tema Hari Lingkungan Hidup 2008 oleh Badan Lingkungan Hidup Dunia, UNEP yaitu “Kick the Habit ! Towards a Law Carbon Economy” yang di Indonesia menjadi “Ubah Perilaku dan Cegah Pencemaran Lingkungan”.

[1] Intisari, Edisi September 2008, hal. 114-115