Senin, 08 September 2008

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

Permasalahan lingkungan hidup telah menjadi perhatian dari banyak pihak, baik dalam skala lokal, nasional maupun indternasional yang timbul sebagai respon terhdap laju degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan yang semakin cepat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dunia. Permasalah lingkunagn hidup telah menjadi suatu penyakit kronis yang dirasa sangat sulit untuk dipulihkan. Padahal permasalahan lingkungan hidup yang selama ini terjadi di Indonesia disebabkan paradigma pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan daktor lingkungan (Program Studi PSL USU & Kementerian Lingkungan Hidup, 2008).

Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama. Di satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan (Wariyanto, 2008).

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) diatur bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kelanjutan pokok ini ialah beban pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dipertanggungjawabkan kepada pihak pencemar dan perusak, sehingga sanksi hukum dipertanggungjawabkan kepada pihak yang mencemari dan merusak lingkungan hidup (Koesmono, 2008).

Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka pembangunan berkesinambungan. Berbagai peristiwa yang melibatkan korporasi terjadi silih berganti. Pencemaran Teluk Buyat, “Lumpur Lapindo” di Sidoarjo dan kasus illegal logging yang melibatkan Adelin Lis (Direktur Keuangan PT KNDi), merupakan beberapa kasus pencemaran/pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi .

Korporasi sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur unik dan dilengkapi dengan seperangkat ketentuan yang mengatur tindakan personalia di dalamnya, sebagai institusi legal, suatu lembaga yang keberadaan dan kapasitasnya untuk berbuat sesuatu ditentukan oleh hukum, seringkali melanggar hukum. Namun demikian, dengan berbagai cara korporasi acapkali lolos dari jeratan hukum Korporasi sebagai subyek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi (mencari keuntungan yang sebesar-besarnya) tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial (Setiyadi, 2008).

Istilah korporasi biasa digunakan para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum perdata disebut sebagai badan hukum atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Apa yang dinamakan “badan hukum”, sebenarnya tidak lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini diberi status sebagai subyek hukum, di samping subyek hukum yang berwujud manusia (natuurlijk persoon). “Badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu yang harus dipandng sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya” (Setiyono, 2002 : 2-4).

Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporatecriminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana (Nasution, 2008).

Dalam hal lingkungan hidup, pertanggungjawaban korporasi ini diatur dalam Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada intinya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada setiap orang, badan hukum dan/atau pengurusnya. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa konseskuensi penerapan ketentuan tentang tentang tanggung jawb korporasi ini harus benar-benar dipahami oleh para pengusaha, sehingga harus berhati-hati dalam mengelola perusahaannya agar tidak melakkan perbuatan yang mengakibatkan pengusaha dikenakan pidana penjara, disamping perusahaannya dikenakan denda karena telah terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatannya itu (Program Studi PSL USU & Kementerian Lingkunga Hidup, 2004 : 60).

KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Eksistensi suatu korporasi sebagai badan hukum bukan muncul begitu saja, atau bukan muncul demi hukum. Korporasi sebagai badan hukum bukan ada dengan sendirinya tetapi harus ada yang mendirikannya, yaitu oleh pendiri atau pendiri-pendiri yang menurut hukum perdata diakui memiliki kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan korporasi. Menurut hukum perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk dapat mendirikan korporasi adalah orang atau natural person dan badan hukum atau legal person (Sjahdeini, 2006 : 43).

Chidir Ali berpendapat bahwa subyek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum. Apa yang dinamakan “badan hukum”, sebenarnya tidak lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini diberi status sebagai subyek hukum, di samping subyek hukum yang berwujud manusia (natuurlijk persoon). Selanjutnya mengenai korporasi ini H. Setiyono berpendapat bahwa badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu yang harus dipandng sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya (Ali, 1991 : 18).

Sebuah korporasi menurut hukum perdata merupakan legal person (rechtspersoon) yaitu badan hukum yang sifatnya legal personality. Namun apakah korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana? Pada awalnya, pembuat undang-undang pidana berpandangan hanya manusia yang dapat menjadi subjek tindak pidana. Namun, seiring perkembangan zaman, korporasi juga bisa menjadi subjek tindak pidana. Di Amerika Serikat ada konsep untuk minta pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu melalui doktrin respondent superior atau vicarious liability. Menurut doktrin ini, apabila pekerja suatu korporasi melakukan tindak pidana dalam lingkup pekerjaannya dengan maksud menguntungkan korporasi, maka tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada korporasi. Prinsip ini bertujuan mencegah perusahaan melindungi diri dan lepas tanggung jawab, dengan melimpahkan kegiatan perusahaan yang melanggar hukum kepada pekerjanya. Ajaran vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of tort), yang kemudian diterapkan pada hukum pidana (Winarta, 2008).

Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Dalam Pasal 46 ditentukan bahwa :

  1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasa hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
  3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
  4. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Wirjono Prodjodikoro (1989 : 55) juga menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Menurutnya dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.

KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Kejahatan korporasi ditinjau dari bentu subjek dan motifnya, dapat dikategorikan dalam White Collar Crime dan merupakan tindak pidana atau kejahatan yang bersifat organisatoris. Selain itu kejahatan korporasi juga merupakan kejahatan yang bersifat kompleks dan bersifat ekonomis(Herlan, 2008).
Untuk menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan korporasi tersebut. Korporasi diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindakan bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan hukum/korporasi, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindakan bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya (Syahrin, 2003 : 12).

Untuk menetapkan suatu badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang mengatur/menguasai dan/atau pemerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang. Dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup, badan hukum mempunyai kewajiban untuk membuat kebijaka/langkah-langkah yang harus diambilnya, yaitu :

  1. merumuskan kebajikan di bidang lingkungan;
  2. merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak serta menetapkan siapa yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut;
  3. merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang menggangu lingkungan dimana juga harus dieprhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yag diberlakukan perusahaan yang bersangkutan;
  4. penyedian sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup (Syahrin, 2003 : 13-14).

Jika terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa badan hukum kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang (Syahrin, 2003 : 14).

Agar suatu badan hukum dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu :

  1. apakah kasus tersebut berkenaan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tidank pidana;
  2. norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang menggangu lingkungan;
  3. sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tesebut (Syahrin, 2003 : 14-15).

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM PENCEMARAN LINGKUNGAN

Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP ini dikarenakan subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana (Rusmana, 2008).

Pentingnya pertanggungjawaban pidana korporasi dapat merujuk kepada pendapat Elliot dan Quinn. Pertama, tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan. Kedua, dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut perusahaan daripada para pegawainya. Ketiga, dalam hal tindak pidana serius, sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut. Keempat, ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya. Kelima, apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal,seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja. Keenam, pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung,agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal. Ketujuh, publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan ilegal,di mana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah pegawainya (Raspati, 2008).

Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang bersangkutan. Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidananya (Muladi dan Prayitno, 1991 : 66-67).

Mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi (badan hukum) dalam hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang-undang, yaitu:

  1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang bertanggungjawab
    Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan penguruslah bertanggungjawab. kepada pengurus dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.
  2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab
    Dalam hal korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang bertanggungjawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasamya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.
  3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
    Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri. Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana temyata tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita kerugian atas tindak terlarang tersebut (Syahrin, 2003, : 8-9).

Menurut Muladi (1997 : 17-18) bahwa berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang berkembang maupun kecendrungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal :

  1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
  2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity);
  3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi­punishment provision);
  4. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision;
  5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
  6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengertian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap langkah­-langkah korporasi dalam berusaha;
  7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan;
  8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepted) oleh korporasi tersebut.

Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada Pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut (http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008).

Mas Achmad Santosa mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997. Menurutnya, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan (http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008).

Untuk menentukan siapa-siapa yang bertanggung­jawab di antara pengurus suatu badan hukum yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidana tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada badan hukum (korporasi) yang bersangkutan. Penelusurab dan dokumen-dokumen tersebut akan menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian (Husein, 1993 : 180-181).

Memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPLH yang menetapkan bahwa kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup" dan "berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 46 UUPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup (Syahrin, 2003 : 17-18).

Korporasi dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara :

  1. memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan bisanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya.
  2. melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap perberitahuan pelanggaran yang dilakuakn dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik.
  3. mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instansi) tersebut.
  4. memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga (a) catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, (b) jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan.
  5. membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbang B3 yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang.
  6. menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencagahan dari penggunaan B3. perusahaan mengatur, mengukur, meningkatkan dan mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari oeprasi kegiatannya dengan cara yang sistematis (Syahrin, 2003 : 17-18).

Direktur perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan. Dalam melakukan tugas dan kewajibannya direksi harus melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab” (Sjahdeini, 2002 : 425).

Dari ketentuan pasal tersebut jelas terlihat adanya duty of care (tugas mempedulikan) dari direksi terhadap perusahaan. Dalam hal ini duty of care adalah antara lain :

  1. direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan itikad baik good faith) dimana direktur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana orang biasa yang harus berhati-hati;
  2. kewajiban atas standar kehati-hatiab ditentukan oleh kewajiban seorang direktur ssuai dengan penyelidikan yang rasional (Syahrin, 2003 : 21).

Kegagalan untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbuatan tersebut sebenernya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia, oleh karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin constructive fraud untuk pelanggaran fiduciary duty (Syahrin, 2003 : 21).

Dengan demikian direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban” untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup (Syahrin, 2003 : 21).

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan untuk menetapkan suatu badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Agar suatu badan hukum dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu :

  1. apakah kasus tersebut berkenaan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tidank pidana;
  2. norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang menggangu lingkungan;
  3. sifat, struktur dan bidang kerja dari badn hukum tesebut
    Pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan kepada (a) Pengurus korporasi sebagai pembuat; (b) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; dan (c) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.


    DAFTAR KEPUSTAKAAN


    Ali, Chidir. Badan Hukum, Bandung : Alumni, 1991

    Herlan, Andhy Yanto. Dakwaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korporasi di Bidang

    Husein, Harun M. Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Jakarta: Bumi Aksara,1993

    Keraf, A Sony. Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius, 1988

    Muladi dan Prayitno, Dwidja. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991

    Muladi. “Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan UU No. 23 Tahun 1997”, Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi UU No. 23 Tahun 1997, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 1998

    Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Kedua, Bandung : Eresco, 1989

    Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) USU dan Kementerian Lingkungan Hidup, Eksaminasi Putusan MA No. 617/K/PID/2004 Tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Medan, 2004

    Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang : Averroes Press, 2002

    Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002

    Sjahdeini, Sutan Remy. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta : PT. Grafiti Pers, 2006

    Syahrin, Alvi. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Medan : USU, 2003

    http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perkara Lingkungan, dipublikasikan tanggal 23 September 2004, diakses tanggal 3 Mei 2008

    http://www.library.usu.ac.id/download/fh/04011689.pdf, Lingkungan Hidup, diakses tanggal 3 Mei 2008

    Koesmono, Iwan Arto. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pindana Lingkungan Hidup, www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2/abstrakpdf.jsp?id=93204&lokasi=lokal diakses tanggal 9 Mei 2008

    Nasution, Bismar. Kejahatan Korproasi dan Pertanggungjawabannya, http://bismarnasty.files.wordpress.com/2007/06/kejahatan-korporasi-dan-pertanggungjawabannya.pdf, diakses tanggal 3 Mei 2008

    Raspati, Lucky. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, http://raspati.blogspot.com /2007/06/pertanggungjawaban-pidana-korporasi.html, dipublikasikan tanggal 29 Juni 2007, diakses tanggal 3 Mei 2008

    Rusmana. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan, http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php, diakses tanggal 3 Mei 2008

    Winarta, Frans H. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0612/05/nas12.html, diakses tanggal 3 Mei 2008

    Setiyadi, Mas Wigrantoro Roes. Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi, http://maswigrs.wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-atau-kejahatan-korporasi, dipublikasikan tanggal 11 April 2007, diakses tanggal 10 Mei 2008

2 komentar:

Anonim mengatakan...

How to get to Situs Judi Bola via Muhurat in
Muhurat is the primary place youtube to mp3 shark to perform the situs judi bola online. Muhurat is popular among the online game players.

Anonim mengatakan...

nama saya fajar. saya tinggal di bedono di jawa tengah saya berada dalam masalah keuangan yang sangat kronis dan situasi kesehatan terminal beberapa minggu yang lalu. setelah semua pencarian saya untuk bantuan dari teman dan tetangga terbukti gagal, saya merasa tidak ada orang yang benar-benar peduli. saya menjadi sangat lelah karena kurangnya dana untuk mengembangkan bisnis saya dan 2 anak saya yang berusia 5 dan 8 tahun juga tidak tampan karena kurangnya perawatan yang tepat sebagai akibat dari keuangan. suatu pagi yang setia saya melihat seorang teman lama mendiang suami saya dan saya memberi tahu dia semua yang telah saya alami dan dia berkata satu-satunya cara dia bisa membantu adalah mengarahkan saya ke petugas pinjaman yang baik di AS yang juga membantunya, dia menjelaskan kepada saya tentang bagaimana dia secara finansial turun dan bagaimana dia didorong oleh petugas pinjaman ini (mr pedro yang memberinya pinjaman 7.000.000 usd dengan tarif terjangkau 2. dia selanjutnya meyakinkan saya bahwa mereka adalah satu-satunya perusahaan pinjaman sah yang dia temukan secara online. dia memberi saya email mereka & begitulah cara saya melamar dan juga diberikan pinjaman dan hidup saya berubah untuk selamanya hubungi satu-satunya pemberi pinjaman asli mr pedro melalui email / whatsapp +18632310632 pedroloanss@gmail.com untuk menyelesaikan kekacauan keuangan Anda